Jumat, 22 Mei 2015

PNBP?






Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan salah satu pilar APBN yang cukup menjanjikan dalam dasawarsa terakhir.  Meskipun masih kalah populer dan tidak sesuperior penerimaan perpajakan, namun capaian realisasi PNBP yang menunjukkan performa positif dalam dasawarsa terakhir menyiratkan bahwa jenis penerimaan ini menyimpan potensi yang luar biasa.  

Sebelum digulirkannya reformasi pengelolaan PNBP pada tahun 1997, penatausahaan, pemungutan, dan pertanggungjawaban PNBP belum sepenuhnya mencerminkan tata kelola yang baik. Banyaknya Kementerian/Lembaga (K/L) yang memungut PNBP tanpa dasar hukum, kurang tertibnya penyetoran PNBP dan adanya penggunaan dana PNBP di luar mekanisme APBN, merupakan sebagian potret pengelolaan PNBP yang perlu segera dibenahi.
Tidaklah berlebihan rasanya apabila kemudian pemerintah mengatur pengelolaan PNBP dalam sebuah produk legislasi berupa UU No.20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Selain bertujuan untuk mengamankan sumber pendapatan negara yang sangat menjanjikan tersebut, kehadiran UU PNBP diharapkan mampu menghembuskan angin perubahan di dalam pengelolaan keuangan negara. Hingga kini, tercatat tidak kurang dari 70 K/L yang melaksanakan pungutan negara di luar perpajakan tersebut. 
Sesuai dengan amanah UU No. 20 Tahun 1997, pungutan PNBP harus ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP pada K/L. Penetapan besaran tarif antara lain harus memperhatikan aspek keadilan, menjamin pelayanan yang baik kepada masyarakat, dan mempertimbangkan perkembangan dunia usaha. Pungutan PNBP yang tidak berkiblat pada PP tentang jenis dan tarif tersebut dianggap sebagai pungutan liar yang semestinya dapat segera ditertibkan. Secara umum, di dalam penetapan tarif kita mengenal metode official dan self-assessment. Dalam metode yang pertama, kewajiban PNBP ditetapkan oleh Instansi Pemerintah. Sementara itu, metode kedua memberikan kelonggaran bagi wajib bayar untuk menghitung sendiri kewajiban PNBP-nya.
Dalam rangka menjamin ketersediaan alokasi pendanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat, sebagian dana PNBP dapat digunakan kembali oleh K/L maupun satker pemungut PNBP. Hal ini dapat dilakukan setelah K/L memperoleh ijin penggunaan sebagian dana PNBP dari Menteri Keuangan. Ijin tersebut dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri Keuangan. Adapun besaran persentase dana yang dapat digunakan sangat bervariasi baik antarkegiatan dan antarsatker maupun antar K/L. Salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam pemberian ijin adalah besarnya kebutuhan dana yang realistis namun tetap menjamin kualitas pelayanan yang andal kepada masyarakat.
Sebagai salah satu sumber pendapatan negara, target PNBP ditetapkan melalui mekanisme APBN.  Usulan angka target dan pagu penggunaan PNBP disampaikan oleh K/L pada setiap awal tahun dalam rangka penyusunan RAPBN Tahun Anggaran berikutnya. Selanjutnya, berdasarkan angka-angka  tersebut dilakukan pembahasan dan penelaahan bersama antara Direktorat Jenderal Anggaran dengan K/L beserta satker. Angka target dan pagu hasil penelaahan disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR untuk dibahas bersama. Asumsi parameter ekonomi makro seperti kurs, harga minyak mentah Indonesia, dan lifting, merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan target PNBP. 
Disadari sepenuhnya bahwa pencapaian target PNBP perlu diiringi dengan upaya optimalisasi. Kementerian Keuangan senantiasa mendorong K/L sebagai instansi pemungut dan para wajib bayar PNBP untuk segera menyetor kewajiban PNBP ke Kas Negara.  Pada prinsipnya, dana PNBP yang dipungut oleh K/L harus segera dan secepatnya disetor ke Kas Negara. Demikian juga kewajiban PNBP oleh wajib bayar, diharapkan dapat disetor sebelum tanggal jatuh tempo. Instansi pemerintah yang memperoleh ijin penggunaan, dapat mencairkan dana PNBP setelah menyetorkan uang PNBP yang dipungut dari masyarakat ke kas negara.
Keterlambatan atau penundaan pembayaran PNBP dapat berakibat pada pengenaan denda sebesar 2 persen sebulan. Apabila wajib bayar belum melunasi kewajiban PNBP, maka instansi pemerintah diharuskan untuk senantiasa melakukan upaya penagihan.  Piutang PNBP yang sudah tidak dapat ditagih lagi akan dilimpahkan dari instansi pemungut kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara untuk diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum, Pemerintah juga memberikan sinyal pidana atas pelanggaran dalam pengelolaan PNBP. Sebaliknya, rezim PNBP saat ini juga memberikan hak kepada wajib bayar untuk mengajukan pengembalian pembayaran PNBP baik dalam bentuk kompensasi maupun pengembalian tunai. Bahkan, bagi wajib bayar yang kurang puas dengan penetapan kewajiban PNBP, khususnya untuk PNBP yang dihitung dengan self assessment,  dapat mengajukan keberatan.
Pada akhirnya, pengelolaan dan penatausahaan PNBP harus dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan keuangan. Transaksi PNBP disajikan di dalam Laporan Realisasi Anggaran yang menyajikan capaian PNBP tahun berjalan dan Neraca yang memberikan gamparan posisi piutang PNBP pada beberapa K/L.
Catatan yang patut untuk diperhatikan antara lain adalah masih banyaknya praktik pengelolaan PNBP yang menyimpang dari tujuan luhur diterbitkannya UU tentang PNBP. Beberapa praktik dimaksud antara lain adalah masih terdapat pungutan PNBP yang tidak mempunyai dasar hukum kuat, beberapa K/L tidak atau terlambat menyetor PNBP, adanya penggunaan dana PNBP tanpa terlebih dahulu disetor ke kas negara. Mekanisme penggunaan sebagian dana PNBP menjadi topik hangat yang selalu menarik untuk didiskusikan. Ketidakseragaman dalam memahami konsep earmarking dan penganggaran berbasis kinerja, disinyalir memicu pro dan kontra seputar penggunaan dana PNBP. Terdapat wacana untuk meninjau kembali bahkan meniadakan kebijakan pemberian ijin penggunaan dana PNBP kepada instansi pemerintah. Wacana tersebut tentu saja perlu disikapi secara hati-hati mengingat banyaknya para pemangku kepentingan yang mempunyai hajat besar terhadap dana PNBP.  Kehadiran paket UU di bidang keuangan negara sebagai landasan fundamental pengelolaan keuangan negara sejak tahun 2003-2004, menjadi magnet tersendiri bagi pemerintah untuk mengevaluasi rezim pengelolaan PNBP saat ini. Revisi UU No. 20 Tahun 1997 menjadi suatu alternatif dan terobosan yang layak ditunggu. Hal ini dilakukan antara lain sebagai upaya mitigasi atas berbagai problema pengelolaan PNBP di atas. 

Sumber: Buku "Peran Strategis PNBP dalam APBN"

Jumat, 08 Mei 2015

Bismillah, Berbagi: Sebuah Mukadimah




السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

 

Alhamdulillah saya sudah kenal internet sejak SMA, berarti sekitar dua belas tahun yang lalu. Begitu banyak manfaat yang telah saya dapatkan selama berselancar di dunia maya. Mengenal chat yang dahulu kala berbentuk MIRC, ber-email ria, kepoin teman via Friendster, eksis lewat Facebook, ngegame online, update wawasan lewat detik.com (sayangnya ni situs sudah banyak berubah sejak negara api menyerang), belanja-belanji (baru sekarang-sekarang ini sih), ngaji online, baca artikel yang antimainstream, dan tentu aja nyari bahan buat tugas sekolah/kuliah/kerjaan.

Internet kayaknya udah jadi kebutuhan pokok bagi umat manusia yang telah mengenalnya. Gimana enggak, jaringan yang menjangkau seluruh dunia (kecuali yang enggak) yang diinisiasi oleh CERN ini udah merasuk ke hampir semua lini kehidupan manusia. Internet mengubah cara hidup manusia saat ini. Sebagian besar informasi saat ini disampaikan melalui internet. Tak pelak komunikasi pun sebagian besar lewat internet. Sistem perbankan banyak bergantung internet. Manajemen perusahaan banyak mengandalkan internet. Mekanisme pasar bergerak dengan sokongan internet. Mempelajari sesuatu pun tidak harus di sekolah, cukup di internet. Bahkan kehidupan politik suatu negara bisa dipengaruhi oleh internet.

Begitu besar peran internet saat ini. Meskipun demikian, dampak buruk internet juga banyak dirasakan masyarakat. Internet mengubah cara bersosialisasi masyarakat. Mendekatkan yang jauh dan pada saat yang sama, menjauhkan yang dekat. Anda bisa saja bersama dengan beberapa orang , tapi anda mungkin saja tidak menemukan kebersamaan. Ya, semua sibuk dengan internet di smartphone masing-masing. Istri dan anak Anda mungkin seakan tidak lebih memperdulikan Anda dibanding gadgetnya, yang mungkin itu karena Anda juga melakukan hal yang sama. Dan bahkan beberapa orang bisa mati gaya kalau tidak ada internet. 

Namun secara umum, adanya internet telah memberikan manfaat yang begitu besar bagi saya. Kalo dipikir-pikir saya jadi malu sendiri. Begitu banyak hal yang saya dapatkan dari internet selama ini, terutama ilmu. Dilain pihak sangaaaat sedikit ilmu atau hal yang bermanfaat lainnya yang pernah saya bagi di dunia internet. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:


 خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289).

Selain itu berbagi ilmu ternyata punya keutamaan tersendiri. Sahabat Ali ra pernah berkata "Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu bila disebarkan/dibagikan akan bertambah, sedangkan harta jika disebarkan atau dibagikan akan berkurang." (saya belum menemukan periwayat perkataan Sahabat Ali ra ini, mohon teman kalo ada yang bisa bantu).

Berangkat dari itu semua, saya mencoba untuk berbagi sedikit ilmu yang saya ketahui. Lalu mengenai apa? Kalo dilihat dari judul blog saya, saya akan sedikit berbagi secara spesifik tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Selain itu insya Alloh saya akan berbagi sedikit tentang keuangan negara secara umum.
Bukan! Bukan karena saya ahli di bidang-bidang tersebut, tapi lebih karena saya sering bersentuhan dengan bidang tersebut sebagai konsekuensi pekerjaan saya. Oleh karena itu, komentar, saran dan kritik teman-teman pembaca selalu saya harapkan, agar kita tak hanya saling berbagi, tapi juga saling memperbaiki.

Demikian, dengan membaca بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ , saya berbagi



وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ