Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan salah satu pilar APBN yang cukup menjanjikan dalam dasawarsa terakhir. Meskipun masih kalah populer dan tidak sesuperior penerimaan perpajakan, namun capaian realisasi PNBP yang menunjukkan performa positif dalam dasawarsa terakhir menyiratkan bahwa jenis penerimaan ini menyimpan potensi yang luar biasa.
Sebelum
digulirkannya reformasi pengelolaan PNBP pada tahun 1997, penatausahaan,
pemungutan, dan pertanggungjawaban PNBP belum sepenuhnya mencerminkan tata
kelola yang baik. Banyaknya Kementerian/Lembaga (K/L) yang memungut PNBP tanpa
dasar hukum, kurang tertibnya penyetoran PNBP dan adanya penggunaan dana PNBP
di luar mekanisme APBN, merupakan sebagian potret pengelolaan PNBP yang perlu
segera dibenahi.
Tidaklah
berlebihan rasanya apabila kemudian pemerintah mengatur pengelolaan PNBP dalam
sebuah produk legislasi berupa UU No.20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak. Selain bertujuan untuk mengamankan sumber pendapatan negara yang
sangat menjanjikan tersebut, kehadiran UU PNBP diharapkan mampu menghembuskan
angin perubahan di dalam pengelolaan keuangan negara. Hingga kini, tercatat
tidak kurang dari 70 K/L yang melaksanakan pungutan negara di luar perpajakan
tersebut.
Sesuai
dengan amanah UU No. 20 Tahun 1997, pungutan PNBP harus ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP pada
K/L. Penetapan besaran tarif antara lain harus memperhatikan aspek keadilan,
menjamin pelayanan yang baik kepada masyarakat, dan mempertimbangkan
perkembangan dunia usaha. Pungutan PNBP yang tidak berkiblat pada PP tentang
jenis dan tarif tersebut dianggap sebagai pungutan liar yang semestinya dapat
segera ditertibkan. Secara umum, di dalam penetapan tarif kita mengenal metode official dan self-assessment. Dalam metode yang pertama, kewajiban PNBP
ditetapkan oleh Instansi Pemerintah. Sementara itu, metode kedua memberikan
kelonggaran bagi wajib bayar untuk menghitung sendiri kewajiban PNBP-nya.
Dalam rangka menjamin ketersediaan alokasi pendanaan kegiatan
pelayanan kepada masyarakat, sebagian dana PNBP dapat digunakan kembali oleh
K/L maupun satker pemungut PNBP. Hal ini dapat dilakukan setelah K/L memperoleh
ijin penggunaan sebagian dana PNBP dari Menteri Keuangan. Ijin tersebut
dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri Keuangan. Adapun besaran persentase
dana yang dapat digunakan sangat bervariasi baik antarkegiatan dan antarsatker
maupun antar K/L. Salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam pemberian ijin
adalah besarnya kebutuhan dana yang realistis namun tetap menjamin kualitas
pelayanan yang andal kepada masyarakat.
Sebagai salah satu sumber pendapatan negara, target PNBP
ditetapkan melalui mekanisme APBN.
Usulan angka target dan pagu penggunaan PNBP disampaikan oleh K/L pada
setiap awal tahun dalam rangka penyusunan RAPBN Tahun Anggaran berikutnya.
Selanjutnya, berdasarkan angka-angka
tersebut dilakukan pembahasan dan penelaahan bersama antara Direktorat
Jenderal Anggaran dengan K/L beserta satker. Angka target dan pagu hasil
penelaahan disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR untuk dibahas bersama. Asumsi
parameter ekonomi makro seperti kurs, harga minyak mentah Indonesia, dan lifting, merupakan faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam merumuskan target PNBP.
Disadari sepenuhnya bahwa pencapaian target PNBP perlu diiringi
dengan upaya optimalisasi. Kementerian Keuangan senantiasa mendorong K/L sebagai
instansi pemungut dan para wajib bayar PNBP untuk segera menyetor kewajiban
PNBP ke Kas Negara. Pada prinsipnya,
dana PNBP yang dipungut oleh K/L harus segera dan secepatnya disetor ke Kas
Negara. Demikian juga kewajiban PNBP oleh wajib bayar, diharapkan dapat disetor
sebelum tanggal jatuh tempo. Instansi pemerintah yang memperoleh ijin
penggunaan, dapat mencairkan dana PNBP setelah menyetorkan uang PNBP yang
dipungut dari masyarakat ke kas negara.
Keterlambatan atau penundaan pembayaran PNBP dapat berakibat
pada pengenaan denda sebesar 2 persen sebulan. Apabila wajib bayar belum
melunasi kewajiban PNBP, maka instansi pemerintah diharuskan untuk senantiasa
melakukan upaya penagihan. Piutang PNBP
yang sudah tidak dapat ditagih lagi akan dilimpahkan dari instansi pemungut
kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara untuk diselesaikan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum,
Pemerintah juga memberikan sinyal pidana atas pelanggaran dalam pengelolaan
PNBP. Sebaliknya, rezim PNBP saat ini juga memberikan hak kepada wajib bayar
untuk mengajukan pengembalian pembayaran PNBP baik dalam bentuk kompensasi maupun
pengembalian tunai. Bahkan, bagi wajib bayar yang kurang puas dengan penetapan
kewajiban PNBP, khususnya untuk PNBP yang dihitung dengan self assessment, dapat
mengajukan keberatan.
Pada akhirnya, pengelolaan dan penatausahaan PNBP harus
dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan keuangan. Transaksi PNBP disajikan
di dalam Laporan Realisasi Anggaran yang menyajikan capaian PNBP tahun berjalan
dan Neraca yang memberikan gamparan posisi piutang PNBP pada beberapa K/L.
Catatan yang patut
untuk diperhatikan antara lain adalah masih banyaknya praktik pengelolaan PNBP
yang menyimpang dari tujuan luhur diterbitkannya UU tentang PNBP. Beberapa
praktik dimaksud antara lain adalah masih terdapat pungutan PNBP yang tidak
mempunyai dasar hukum kuat, beberapa K/L tidak atau terlambat menyetor PNBP,
adanya penggunaan dana PNBP tanpa terlebih dahulu disetor ke kas negara. Mekanisme
penggunaan sebagian dana PNBP menjadi topik hangat yang selalu menarik untuk
didiskusikan. Ketidakseragaman dalam memahami konsep earmarking dan penganggaran berbasis kinerja, disinyalir memicu pro
dan kontra seputar penggunaan dana PNBP. Terdapat wacana untuk meninjau kembali
bahkan meniadakan kebijakan pemberian ijin penggunaan dana PNBP kepada instansi
pemerintah. Wacana tersebut tentu saja perlu disikapi secara hati-hati
mengingat banyaknya para pemangku kepentingan yang mempunyai hajat besar
terhadap dana PNBP. Kehadiran paket UU
di bidang keuangan negara sebagai landasan fundamental pengelolaan keuangan
negara sejak tahun 2003-2004, menjadi magnet tersendiri bagi pemerintah untuk
mengevaluasi rezim pengelolaan PNBP saat ini. Revisi UU No. 20 Tahun 1997
menjadi suatu alternatif dan terobosan yang layak ditunggu. Hal ini dilakukan
antara lain sebagai upaya mitigasi atas berbagai problema pengelolaan PNBP di atas.
Sumber: Buku "Peran Strategis PNBP dalam APBN"
Sumber: Buku "Peran Strategis PNBP dalam APBN"